Kepada Buku, Aku Mencari

Jadi, sudah beberapa minggu lalu saya baru menyadari bahwa saya sudah lama tidak membaca buku. Waktu luang lebih banyak teralihkan untuk menonton dan crafting. Seketika saya mendapati kurangnya asupan literasi menjadi sumber keresahan yang saya alami; hal-hal hilang yang menjadi alasan membaca buku

1. Fokus

Akhir-akhir ini saya merasa semakin mudah lupa. Butuh usaha lebih untuk konsentrasi. Intinya kehilangan fokus. Padahal seringkali pekerjaan menuntut ritme yang paralel dan multitasking. Ya, seenggaknya skala prioritas yang mumpuni. Kejadian seperti ini sebenarnya sering berulang. Pernah suatu waktu seorang teman kemudian mengingatkan, “kurang baca tuh!”

Ah, kali ini pun saat melihat linimasa dan kisah mini Instagram yang membahas buku, teguran teman tadi langsung menggema berulang.

Membaca buku memang melatih fokus, karena membaca buat saya tidak bisa dibarengi aktifitas lain. Mencerna informasi lewat tulisan itu lebih melatih otak ketimbang media lain.

2. Sudut pandang baru

Berdiam diri di rumah selama pandemi yang kemudian tetap berlanjut meski pandemi telah usai. Lalu berkutat dengan rutinitas, siapa yang tidak bosan? Menemukan sudut pandang baru menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk membunuh rasa bosan. Mulai dari menonton, mengganti-ganti genre playlist, hingga eksplorasi skill, semua saya lakukan. Tapi lama-lama hal-hal tadi malah berulang kemudian menjadi rutinitas, dan sedikit demi sedikit saya tidak bisa menemukan kebaruan.

Yang saya lupa ada satu media lain, yang bisa memberi sudut pandang baru. Bacaan, terutama dalam hal ini buku. Beda dengan tulisan-tulisan pendek yang mungkin setiap hari seliweran di media sosial, buku menawarkan bacaan yang lebih kaya. Lebih intim sekaligus lebih luas.

3. Teman dan Guru yang pas ritmenya

Entah sebagai teman pengisi waktu luang atau sebagai guru yang memberikan wawasan baru, ritmenya ditentukan oleh pembacanya. Mau pelan atau cepat, mau dibaca bolak balik berulang atau langsung meloncat ke bagian yang diperlukan. Setidaknya tidak terlalu ribet dengan tombol Fast Forward atau Rewind. Entah titiknya terlalu maju dan mundur. Poin ini yang masih menjadi alasan paling penting kenapa buku masih menjadi media yang tidak bisa ditinggalkan.

Setuju?

Abah Rama, Aku, dan Talents Mapping

Ijinkan kali ini saya bercerita sedikit tentang Abah Rama Royani, petemu Talents Mapping, setelah dua postingan sebelumnya lebih banyak bercerita tentang saya dan Talents Mapping.

Tidak terlalu banyak, memang momen saya dengan Abah Rama. Dari yang tidak seberapa banyak itu, hanya dua kali saya bertemu secara langsung dengan Abah. Pertama saat pelatihan ST-30 Mastery di Bandung. Kedua, saat workshop Psikologi Positif di Jakarta. Dua-duanya saya enggak foto khusus bareng Abah, hanya mengandalkan foto bersama. Haha, saya memang sering segan, juga mungkin karena bakat Significance saya yang biasa saja. Sisa pertemuan kami hanya lewat daring, entah via Zoom Meeting atau via chat di grup Whatsapp dan Telegram.

“Mana yang lebih penting, Cara Sukses atau Jalan Sukses?”

Pertanyaan ini yang paling membekas di ingatan saya, ketika pertama kalinya bertemu dengan Abah Rama di Training TM Basic Online, 3 tahun lalu, saat beliau memberi ‘kuliah’ dasar Talents Mapping. Pertanyaan yang kemudian meredefinisi benak saya dan benar-benar menjadi langkah awal berjalan sebagai santri Talents Mapping. Di kesempatan itu Abah juga bercerita bagaimana awal mula Talents Mapping, ditemunya. Beliau memang lebih suka dilabeli sebagai petemu ketimbang penemu. Sebuah kata yang tidak memenuhi kaidah PUEBI, dan memang sengaja dicetuskan untuk mengganti kata penemu di komunitas Talents Mapping. Pasalnya, Abah tidak merasa sebagai orang yang ‘menemukan’, apalagi ‘menciptakan’ konsep Talents Mapping. Segala sesuatunya hanya merupakan rangkaian ‘kebetulan’ atau sebut saja sebagai jalan takdir Abah memenuhi tugasnya.

Di lain kesempatan, saya juga terlarut dalam cerita Abah, saat menceritakan milestone bagaimana Talents Mapping berkembang dari waktu ke waktu dalam kurun waktu 20 tahun. Dan hari ini, santri Talents Mapping sudah sekian banyaknya, konsepnya pun sudah semakin banyak diaplikasikan di banyak area. Bahkan Abah sendiri yang bilang, semakin ke hari justru Abah yang semakin banyak belajar dari santri-santri Talents Mapping. Masya Allah, enggak heran ya kalau di komunitas Talents Mapping tuh semangat belajarnya selalu penuh, petemunya aja begitu. Di Talents Mapping enggak ada tuh namanya yang belajar lebih dulu pasti selalu lebih ahli. Kami semua sama-sama santri, orang yang selalu dalam pencarian ilmu.

Tepat hari ini pula, Abah memasuki usianya yang ke-78. Barakallahu fii Umrik Abah Rama… Semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmah dan RahimNya untuk Abah, memberikan kesehatan dan kelapangan dalam menjalankan tugas-tugas Abah, dan kiranya nanti Allah memanggilmu pulang dalam keadaan yang Husnul Khotimah. Mudah-mudahkan masih lama yaa, Abah..

Terima kasih Abah, sudah menghadirkan Talents Mapping. Semoga Talents Mapping semakin banyak menebar manfaat dan inspirasi untuk banyak orang dan menemukan peran kebermanfataannya, sepertinya halnya saya yang menemukan perspektif baru tentang bakat dan potensi saya. Hingga kelak cita-cita Abah, agar setiap anak lulusan SMP sudah dapat mengenal dirinya, terwujud.

Aamiin Ya Rabbal’alamin

Memulai kebermanfaatan

Bismillah…

Setelah 3 tahun belajar Talents Mapping, sempat maju-mundur-cantik untuk menjadi praktisinya, akhirnya saya beranikan diri untuk mendeklarasikannya. Saya Ayu dan saya adalah Praktisi Talents Mapping yang siap membantu teman-teman untuk lebih mengenal diri dengan menyadari apa yang menjadi bakat dan potensi kekuatannya. Lebih jauh, setelah itu, saya berharap teman-teman juga bisa menemukan peran kebermanfaatannya di dunia. Menemukan panggilan jiwa. Menemukan Ikigai.

Peran Kebermanfaatan

Ya, ini salah satu yang membuat saya jatuh hati setengah mati dengan Talents Mapping, tentang peran kebermanfaatan. Setuju kan ya, setiap manusia diciptakan unik dan spesial? Nah, ternyata dibalik keunikan masing-masing orang yang merupakan karunia Allah SWT, di sana pula Allah SWT sudah memilihkan peran kebermanfaatan untuk kita, sesuai dengan perangkat yang telah Allah pasangkan di dalam diri kita bernama bakat. Jadi, penting banget untuk mengetahui, apa yang menjadi bakat dan potensi yang kita miliki.

Konsep Talents Mapping memang lebih berfokus pada kekuatan (strength based approach) ketimbang memikirkan bagaimana cara memperbaiki yang kurang pada diri seseorang (defisit approach). Ketika berfokus memperbaiki pada apa yang kurang, seolah-olah kita sedang mengasah kapak pada sisi yang salah. Ya oke, mungkin bisa tajam, tapi akan butuh waktu yang jauh lebih lama dan energi yang lebih besar ketimbang mengasah kapak pada sisi tajamnya. Dengan berperan sesuai dengan bakat, maka kita akan beraktifitas dengan 4E ; Enjoy, Easy, Excellent, dan Earn.

Yang lebih seru, meski awalnya Talents Mapping didesain untuk kebutuhan organisasi, namun ternyata pengaplikasiannya bisa sampai luas. Hal ini dikarenakan dalam asesmen Talents Mapping yang dilihat adalah karakteristik pribadi secara personal. Jadi Talent Mapping sering diaplikasi pada banyak bidang. Mulai dari kebutuhan organisasi untuk memilih the right man in the right place, hingga yang sifatnya perseorangan seperti pengembangan diri atau perencanaan karir yang bahkan bisa dimulai sejak pemilihan jurusan. Bahkan Talents Mapping juga bisa diterapkan di organisasi terkecil dan terdekat pada setiap orang; keluarga. Keluarga sadar bakat akan membentuk setiap anggota keluarganya menjadi orang yang berperan produktif dan bermanfaat karena di dalamnya saling memahami karateristik dan kebutuhan masing-masing individu hingga saling bersinergis satu sama lain. Ah, idaman ya?

Doakan ya… semoga saya bisa konsisten dan berani berjalan menyusuri jalan kebermanfaatan ini…

Belajar Bercermin

Selamat datang kembali, setelah lebih dari belasan purnama akhirnya blog ini kembali terisi. Sambil berjalan nanti kita bersihkan debu-debu dan menata ulang. Pada postingan terakhir saya bercerita tentang perjalanan mengenal diri melalui tulisan sendiri, kali ini pun temanya masih sama, hanya saja kali melalui komunitas Talents Mapping.

Berawal pada Januari 2020, seorang teman kuliah membuat postingan yang menceritakan tentang Talents Mapping dan menawarkan jasanya untuk mengenali bakat dan kekuatan kita. Saat itu saya sedang di persimpangan, tidak memiliki pekerjaan tetap dan rumah memanggil untuk pulang. “What next?” selalu menjadi pertanyaan saya, membuat postingan tadi menjadi sangat menarik, berharap bisa menjawab pertanyaan tadi. Tanpa berpikir lebih panjang, saya setuju untuk melakukan asesmen Talents Mapping. Hasilnya saya cukup terkesan dengan Talents Mapping, yang bisa merefleksikan diri lebih tajam. Di ujung sesi feedback, saya malah jadi tertarik menjadi praktisinya karena terasa dekat dengan cita-cita saya dulu menjadi psikolog, membaca kepribadian, dan membantu secara personal – yang ternyata memang di situlah area potensi kekuatan saya.

Jalan menjadi praktisi kemudian mulai terlihat di kuarter terakhir 2021, secara maraton saya langsung mengikuti dua tahapan pelatihan; TM Basic dan TM Dynamic. Berambisi selesai pelatihan bisa mulai cari cuan dari Talents Mapping. Ternyata yang tidak saya antisipasi, perjalanan memahami Talents Mapping justru membuat saya jauh lebih dalam merefleksi diri, betapa bakat-bakat yang sudah Allah kasih sama sekali belum diasah dan memberi manfaat secara maksimal. Rasanya kayak ditampar berulang kali. Maka prioritas saya berubah, belajar bercermin dan mengasah 7 bakat kuat saya.

1. Input

Ciri utama orang berbakat Input adalah suka mengumpulkan berbagai sumber daya bisa berupa barang atau data yang dianggap penting, entah sibutuhkan untuk saat ini atau masa depan. Kalau kamu juga memiliki koleksi barang sering bintangin pesan WA grup, download file-file, atau menandai postingan-postingan di IG, pinterest, youtube, dan lain sebagainya bisa jadi kamu juga memiliki Input sebagai bakat kuatmu.

2. Connectedness

Buat orang berbakat Connectedness kuat seringkali berpikir Everything happen for a reason. Tidak ada namanya kebetulan. Mudah menemukan keterkaitan antara satu hal dengan hal lainnya. Mudah menerima keadaan dan terlihat pasrah. Hei! disini saya mendapat pencerahan oh ternyata pasrah itu bentuk dorongan bakat ya? oh itu bisa diasah jadi kekuatan ya? Saya mulai terharu.

3. Relator

Menjalin dan memelihara persahabatan secara personal adalah kebutuhan orang yang berbakat Relator. Bertemu kawan lama dan bertukar kabar dengan teman-teman, bahkan hanya lewat pesan seringkali menjadi suntikan energi buat saya. Bahkan hal pertama yang saya lakukan di pagi hari adalah cek aplikasi pesan, barangkali ada pesan penting dari orang-orang dekat.

4. Includer

Ternyata saya tidak hanya berkebutuhan pada hubungan yang bersifat personal, tapi juga berkelompok. Ya, orang dengan bakat Includer adalah orang merasa berenergi di tengah kelompok dan terbuka untuk memperbesar kelompok. Ini yang membuat list WAG yang saya ikuti berderet panjang, jarang banget keluar grup kalau bukan ditendang oleh admin atau jari terpeleset maksud hati ingin hapus pesan malah leave grup. Bakat satu ini memang sudah terasa sejak lama. Saya selalu merasa lebih optimal bekerja ketika berada dalam sebuah tim. Bahkan saya sempat terpikir unutk membranding diri saya sebagai Collaborative Enthusiasm. Ternyata memang dorongan bakat.

5. Harmony

Orang dengan bakat Harmony, biasanya tidak menyukai adanya konflik dan enggan berkonfrontasi. Kekuatannya adalah menjaga keselarasan. Bahkan pada beberapa kasus, orang berbakat Harmony sudah bisa menemukan bibit konflik sebelum pihak lain menyadarinya. Pembawaannya juga biasanya kalem. Deskripsi yang ‘ya-ampun-iya-ini-aku-banget’. Lagi-lagi saya terharu.

6. Belief

Orang dengan bakat Belief secara alami terdorong untuk mendahulukan orang lain, membantu dan melayani orang lain dengan tulus. Pada sebagian orang mungkin melihat orang berbakat Belief sebagai orang yang mudah dimanfaatkan karena kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’. Tapi percayalah, bisa membantu orang lain adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami, orang-orang Belief. Pada beberapa sesi pembahasan mengenai bakat ini bahkan menggelitik saya untuk kembali melihat niat, “benarkah saya ikhlas membantu orang lain atau jangan-jangan hanya sekedar memuaskan kebutuhan psikologis orang berbakat Belief?”. Perbedaan yang sangat tipis tapi cukup untuk menampar saya.

7. Consistency

Bagi orang berbakat Consistency, aturan adalah sesuatu yang penting. Pernah saya dihadapkan pada situasi di mana saya harus menjalani peran yang baru buat saya dan rupanya peran tersebut juga baru di projek itu. Jadi belum ada role model atau aturan main bagaimana seharusnya peran tersebut dijalankan, bahkan tidak ada jobdesk dan KPI yang jelas. Tanpa itu semua saya dihadapkan pada sesuatu yang abstrak dan cukup kesulitan untuk menjalankan peran tersebut. Hasil asesmen Talents Mapping saya menjawab kenapa saya bisa jadi sebingung itu. Memang secara naluriah saya memerlukan aturan yang cukup jelas untuk menjadi panduan saya dalam bekerja. Setidaknya saya tahu apakah saya perform atau tidak.

Kalau dilihat dalam peta bakat sangat terlihat jelas betapa bakat-bakat saya di area Relating (yakni bakat-bakat yang berhubungan dengan orang lain) begitu menyala. Bakat-bakatnya didominasi oleh warna merah dan kuning, warna-warna yang mewakili bakat kuat serta bakat pendukung. Area Thingking Talents yang menyusul menjadi area lebih kuat ketimbang dua area lainnya. Dalam Talents Mapping, orang dengan kombinasi bakat kuat di area Thingking dan Relating, dikategorikan sebagai People Expert. Yakni orang-orang yang ahli memberikan manfaat bagi orang lain dengan ilmunya.

Jleb. Kok rasanya berat yaa? Kok rasanya saya belum begitu yaaa? Ini yang membuat saya mundur beberapa langkah dan mencoba merefleksikan diri lagi. Tapi setelah perjalanan setahun lebih sedikit mendalami Talents Mapping, kali ini saya berusaha mebulatkan tekad… mungkin dengan menekuni Talents Mapping adalah jalan saya untuk bisa memberi manfaat bagi orang lain. Kamu mau mencoba bercermin juga?

Perjalanan Mengenal Diri : Sebuah Epilog #Kubbu30HMC

Enggak kerasa, akhirnya sampai juga di hari terakhir #Kubbu30HMC, program online di bulan Oktober 2020 dari Klub Blogger dan Buku (KUBBU). Seperti yang sudah saya bilang, agak ambisius kalau menginginkan bisa lulus, apalagi dengan nilai cum laude dari program ini.

30 Hari Menulis Cerita dengan tema-tema yang sudah ditentukan, begitu tantangan program ini. Ini bukan kali pertama saya mengikuti tantangan menulis serupa. Sudah tiga tahun saya juga ikutan program sejenis di platform micro blogging dengan gambar sebagai base-nya. Bahkan di program yang saya dan tim canangkan sendiri di salah satu platform menulis di mana saat itu saya masih aktif sibuk di balik layarnya. Hasilnya? serius saya belum pernah lulus.

Mengingat rekam jejak sebelumnya, sejak awal sudah pesimis bisa konsisten menulis apalagi dengan batas minimal 250 kata di tiap artikel. Tapi, entah, tetap nekad aja sih. Penasaran. Oh, ya tentu saja, tetap saja hasilnya enggak lulus. Sampai tulisan ini diunggah, saya baru berhasil setor 11 tulisan dari 30 tema. Ya, ampun!

Oh, tapi saya tidak merasa tertekan, hehe. Awalnya saya sempat berpatokan pada angka, ingin mengejar jumlah artikel. Lalu dalam perjalanannya, saya sempat keteteran membagi waktu dengan kegiatan lain dan akhirnya berujung sakit. Prioritas saya set ulang dan terus terang program ini menjadi yang paling akhir.

Meski merasa gagal dalam angka, tapi ternyata saya menemukan sisi lain yang jauh lebih bermakna. Buat saya #Kubbu30HMC adalah perjalanan untuk mengenal diri sendiri. Sebagai ajang refleksi diri, termasuk ketika merelakan untuk tidak memaksa posting setiap hari.

Paling mengena ketika saya harus menulis 30 fakta. Ada hal-hal yang sebelumnya saya tidak tersadar, namun kemudian jawabannya muncul begitu saja saat saya sedang menyusun tulisan untuk tema tersebut.

“Ooh, iya juga ya, jadi kemarin saya begini tuh karena begitu ya…”

Jadi, kali ini saya tidak menganggapnya sepenuhnya gagal. Terima kasih sudah memberikan kesadaran baru tentang diri yang sebelumnya terlewatkan.

Entah, ke depan apa saya masih mau meneruskan sisa hutang komitmen personal. Maunya iya, tujuannya bukan bayar hutang sih, tapi untuk semakin menyelami diri sendiri. Sebenarnya beberapa tema sudah pernah saya tulis untuk tantangan serupa, tapi tetap saja tak bisa langsung saya copy paste. Bukan cuma soal jumlah kata, tapi juga kadang ada sudut pandang yang sudah berubah seiring usia yang semakin bertambah.

So,  seperti kata Miminnya #Kubbu30HMC “This is not a goodbye, this is a new hello”.

See You

Menuju Paris

Hari ini aku terbangun dari tidur dengan senyum sumringah, meski suara alarm terdengar begitu memekakan telinga dan kantuk masih setengah melanda. Bagaimana tidak, hari ini perjalanan impianku akan terwujud. Oh, lebih tepatnya besok, karena pesawatku baru akan lepas landas lima belas menit selewat tengah malam.

Sekali lagi aku cek semua persiapan untuk perjalananku hari ini. Rasanya sudah siap semua. Sudah seminggu terakhir semua check list travelling bolak balik aku periksa. Efek gugup karena trip perdana ke Perancis, tempat paling romantis katanya. Meski sayangnya aku tak pergi dengan pasanganku.

Kembali melihat itinerary dan barang bawaan, malah semakin membuatku gelisah. Ah, lebih baik aku menyibukan diri dengan draft yang aku tulis untuk 30 Hari Menulis Cerita. Apalagi nanti kalau perjalanan sudah dimulai, mungkin waktu untuk menulis akan semakin terbatas. Tambahan lagi, takutnya ketika sudah terlanjur jatuh cinta dengan Paris bisa-bisa aku lupa menulis sesuai tema.

Ah, tapi otakku sepertinya juga sudah mulai sulit diajak bekerja sama. Draft tulisan yang sejak tadi kubuka cuma bisa kupelototi hampir selama tiga jam tanpa mengetikkan satu kata pun di situ. Kacau. Waktu masih tersisa lebih dari dua belas jam menuju last check-in. Tapi entah, gelisah ini semakin menjadi, seperti merasa ada yang salah.

Aku memutuskan untuk berangkat sekarang, lalu menunggu di bandara saja daripada khawatir berlebihan takut terlambat. Tak lupa menelpon teman seperjalanan tentang perubahan jadwalku. Karena kami sebelumnya menjadwalkan bertemu di Stasiun Duri, lalu naik kereta bandara dari sana bersama-sama.

Perjalanan kali aku memutuskan untuk naik kereta menuju bandara. Biar sekalian pengalamannya. Meski sebenarnya akses menuju kereta bandara dari tempat tinggalku di Tangerang Selatan cukup sulit. Aku harus transit di stasiun Tanah Abang, lalu pindah jalur KRL menuju Stasiun Duri. Ribet.

Sambil menunggu KRL datang, aku sempatkan menelpon keponakan untuk mengingatkan jangan sampai lupa memberi makan kucingku. Kemudian aku bergegas naik KRL, perebutan kursi KRL biasanya lebih dramatis ketimbang kursi dewan yang terhormat. Persaingannya terlihat lebih nyata. Tak hanya butuh kekuatan mental tapi juga fisik yang lebih dari sekedar kuat.

Sesampainya di stasiun Duri, sebuah pesan masuk. Sang Teman, sedang dalam perjalanan menyusulku, butuh waktu kurang dari 20 menit untuk sampai. Baiklah, kuputuskan keluar dari stasiun, untuk mengisi perut yang sedari pagi belum diasupi makanan. Sebuah warkop tak begitu jauh dari stasiun tampak begitu menggiurkan. Indomie buatan abang warkop bakal jadi menu yang paling dikangeni, meski di koper juga sudah kuselipkan beberapa sebagai bekal.

Temanku datang ketika aku sedang mengaduk nasi dalam piring yang dipenuhi indomie. Entah setan lapar mana yang merasukiku. Pantangan menyatukan dua jenis karbohidrat sudah tak kuhiraukan lagi. Temanku cuma bisa memandang ngeri, mungkin mual melihat isi piringku. Aku juga hanya meringis menjawab tatapannya.

Perjalanan menuju bandara berikutnya berlangsung aman. Check in yang ribetnya berkali lipat karena efek pandemi juga lancar tanpa hambatan. Gelisah yang semenjak tadi padi menyerangku mungkin hanya efek kegugupan, lalu menimbulkan kekhawatiran berlebihan. Tiket dan paspor yang masih di tangan kupandangi lagi dengan rasa sedikit haru separuh tak percaya. Nun jauh disana, Menara Eiffel berdiri tegak menantiku untuk kuabadikan dalam catatan perjalanan.

Ah, tapi gelisah itu masih ada. Memikirkan alasan kegelisahanku membuatku mengantuk. Tak apa mungkin lelap sekejap, membayar beberapa kekurangan tidur beberapa hari terakhir. Belum lama kurasa saat kudengar alarm kembali membangunkanku. Hmm, aneh, aku tak memasang alarm. Kuraih ponselku yang ternyata tak berbunyi, aneh. Rasa asing kembali menerpa, kenapa tempat duduk di bandara ini empuk sekali, nyaman seperti tempat tidurku, dan kenapa gelap sekali, mungkinkah bandara mati lampu, aneh. Kesadaranku kembali penuh karena mendengar suara alarm yang terus berbunyi. Ah sial, mimpiku terhenti, bahkan saat belum mencapai Paris. Bunyi serupa alarm terus berbunyi, aku menyadari bahwa token listrik sudah habis.

Membaca Emosi

Apa jadinya manusia tanpa emosi? Saya jadi teringat serial drama korea yang akhir-akhir ini baru saja saya tonton, Stranger. Di mana ceritanya sang tokoh utama, Hwang Si Mok, seorang jaksa kehilangan emosis sejak bagian otaknya yang mengatur emosi diangkat. Tentu saja karakternya kemudian menjadi datar. Segala sesuatu dia hitung berdasarkan nalar dan logika. Tapi bukan berarti sebenarnya Si Mok ini menjadi manusia tanpa emosi. Pada beberapa scene digambarkan dia tersenyum. Bahkan ada satu adegan Si Mok pingsan karena emosi yang menumpuk tapi tak dia kenali dan tak tersampaikan.

Pernah bertemu orang yang seperti Si Mok? Mungkin jarang. Tapi sebenarnya kita seringkali bercakap dengan orang nol emosi. Oh bukan secara harfiah ya. Kapan? Yaitu saat kita bercakap melalui tulisan. Sebenarnya tulisan itu nol emosi. Yang membacanyalah yang menambahkan emosi pada tulisan yang sedang ia baca sesuai persepsi yang dia terima.

Nah, masalahnya, seringkali orang menganggap benar apa yang ia persepsikan, terus jadi baper sendiri. Misalnya nih, dapat jawaban pesan yang super pendek. Seringkali diartikan si penjawab sedang kesal. Mungkin ya, mungkin tidak. Mungkin saja si penjawab sedang sibuk jadi cuma menjawab sekenanya.

Yang sering terjadi juga adalah kesalahan memberi intonasi. Ujung-ujungnya jadi salah persepsi lagi. Inilah salah satu kekurangan dari pembicaraan melalui media tulisan adalah tidak adanya nada. Salah intonasi ini paling sering terjadi pada kalimat atau kata yang memiliki banyak warna. Misalnya kata ‘terserah’. Jangankan dalam tulisan, diucapkan secara langsung saja tetap bisa salah persepsi, apalagi ketika hanya dalam tulisan.

Memberi emosi pada sebuah tulisan memang gampang-gampang susah. Apalagi ketika konteksnya sangat tipis dengan sulutan emosi, misalnya ketika komplain. Saya pernah suatu kali komplain melalui pesan teks. Sebenarnya saya tidak dalam keadaan marah ketika mengajukan komplain. Ya, biasa saja, menceritakan masalah dan meminta solusi. Hanya mungkin yang membaca sudah sensitif duluan, jadi membaca pesan saya seolah saya sedang marah, dan kemudian tersinggung duluan.

Sejatinya saat menulis, kita memang harus berhati-hati. Sebisa mungkin maksud dan tujuannya jelas terbaca. Pun saat membaca, taruh dulu emosi dan persepsi yang melatarinya, agar bisa jelas membaca emosi pada tulisan.

Beberapa Menit di Lift

Ting!

Mendadak hatiku ikut berdebar seiring terdengar suara bel lift, menandakan pintu lift akan segera terbuka. Lift yang akan mengantarkanku ke lantai lima gedung ini. Lantai lima, tempat ballroom berada, tempat berlangsungnya acara reuni sekolah saat masih mengenakan seragam putih biru. Tempat di mana teman-teman semasa itu akan berkumpul dan bernosalgia bersama. Tempat dimana dia, yang pertama kali mengisi hatiku, juga mungkin akan datang. Dialah yang menjadi alasan kenapa hati ini jadi berdebar.

Debar ini semakin bertalu-talu, saat kaki mulai melangkah masuk ke dalam lift. Seketika ingatan terasa penuh dengan adegan-adegan berbelas tahun silam, seperti saling berebut mengisi frame. Kami dulu sekelas dia terpilih sebagai ketua murid kelas, sementara aku wakilnya.

Aku teringat saat ulangan harian, terdengar suaranya mendukungku dari luar kelas. Ya, maklum terkadang guru membagi kelas dan jam pelajaran menjadi dua saat ulangan agar masing-masing murid dapat duduk sendiri. Aku juga masih ingat jelas bagaimana rasa rona malu, saat teman-teman menggoda kami.

Sebenarnya entah aku tak pernah tahu benar bagaimana perasaannya, hingga detik ini. Aku hanya menyangka bahwa dia juga menyukaiku. Baiklah, mungkin lebih tepatnya ‘berharap’ karena aku menyukainya. Bisa saja aku salah mengartikan. Tapi, tak bisa kupungkiri, aku berharap banyak saat temannya bilang kalau dia menyukaiku. Mendengarnya saja sudah bikin senang.

Tanpa sadar, senyumku mengembang sambil menggeleng-gelengkan kepala mengingat masa remaja yang baru mulai mengenal virus merah jambu. Lucu separuh geli sendiri kalau diingat-ingat sekarang.

Sekali lagi, kucoba menelusuri hatiku, kali ini lebih berhati-hati. Gerangan apa yang membuat debar-debar ini bermunculan? Hmmm, rupanya tanya itu masih tersimpan di sudut hati. Selama belasan tahun terkubur dengan banyaknya perjalanan hidup yang juga membutuhkan ruang pikiran dan hati.

“Apakah dia menyukaiku?”

Sesederhana itu. Tapi tentu aku tidak akan menanyakannya. Buat apa? Biar saja menjadi tanya yang tak pernah ada jawabnya. Hmm, lalu apa kabar ya dia sekarang? Semenjak lulus SMP kami tak pernah sekalipun berkomunikasi.

Pikiranku masih dipenuhi ingatan tentangnya ketika pintu lift hampir tertutup. Mataku masih sempat menangkap sesosok lelaki berusaha mengejar lift.

“Tunggu!” Teriaknya. Jariku refleks menekan tombol untuk membuka pintu. Lift pun kembali terbuka. Lalu baru kusadari ternyata sosok tadi adalah dia. Yang semula hanya berada di angan, kini menjelma nyata berdiri di sebelah.

“Terima kasih” ujarnya

“Ya sama-sama. Apa kabar Dit?”

“Eh, baik….” Jawabnya bernada ragu. Wajahnya nampak kaget, kemudian berusaha mengingat.

Seketika aku tersenyum sendiri, menyadari bahwa tanya itu sudah tak memerlukan jawabnya lagi.

Nyasar

Nyasar! Inilah yang pertama terlintas di pikiran ketika membaca kisi-kisi dari mimin #Kubbu30hmc tentang keluarga. Hehe, iya, saat kami sekeluarga jalan bareng, bukan cuma sekali dua kali kami merasakan namanya nyasar. Serunya, cerita nyasar ini sering jadi bahan obrolan saat mengenang momen-momen bersama lalu tertawa bareng-bareng. Enggak pernah bosen untuk diceritakan ulang.

1. Nyasar di Jumanji, eh JumantoroBaca selebihnya »