[Writing Project] Berkisah Ibu

Saya cukup lama termenung untuk memulai tulisan saya kali ini. Tidak hanya dalam hitungan jam, namun juga hari. Memilah dan memilih bagaimana saya menghadirkan sosok Ibu dalam writing project ini.

Ya, Ibu. Sosok yang pasti berpengaruh banyak pada pribadi seseorang, demikian pun dengan saya. Tapi, entahlah, mengapa cukup sulit untuk saya menuliskannya. Rasanya bingung memilih momen mana yang akan saya jadikan poin cerita. Terlalu banyak cerita, semua sama istimewanya untuk saya pilih satu.

Pelan-pelan saja, Yu. Biarkan memori, jari dan hatimu yang bekerja. Sebuah suara dari dalam berusaha menenangkan otak yang mengalami kebuntuan.

Baiklah.

Sebaiknya dimulai dengan kali ketika saya berada di dalam rahim Ibu. Tentu saya tidak bisa mengingatnya bagaimana rasanya menjadi fetus, hanya dari cerita ibu, saya membuat memori tentangnya. Beliau bercerita kehamilannya yang sempat bermasalah, mengeluarkan flek sehingga harus diberi suntikan penguat kandungan.

Kemudian tibalah saat itu, Ibu mengalami konstraksi. Inilah saat seorang ibu berjuang untuk melahirkan anaknya, melewati rasa sakit yang tidak terbayangkan. Bahkan, jika seorang ibu harus kehilangan nyawanya, dalam agama yang saya yakini, Allah menjanjikan syahid untuknya. Demikian pun dengan Ibu malam itu, menjelang subuh, beliau melahirkan saya dengan perjuangan yang tidak mudah. Ibu mengalami pendarahan, kakinya hingga bergerak-gerak serupa kejang. Suster yang membantunya panik dan gugup.

“Tenang saja Suster. Kalau memang sudah waktunya mati ya mati, dan sebaliknya Suster. Tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Allah,” kenang Ibu, menenangkan sang suster dan dirinya sendiri sekaligus

Setiap kali Ibu bercerita proses kelahiran saya, hati ini rasanya mencelos. Sebuah pertanyaan selalu muncul Jadi apa saja yang sudah kamu lakukan untuk Ibumu, Yu?

Ah, kemudian yang justru muncul adalah kepingan-kepingan kesabaran Ibu menghadapi kenakalan saya . Seperti saat suatu pagi Ibu membangunkan saya.

“Yu, bangun! Tuh temen-temenmu udah pada bangun, malah udah berangkat ke sekolah.”

“Ya, salahnya Bu. Sekolahnya pada milih yang jauh.”

Lokasi tempat saya belajar di masa SD memang dekat, cukup 5 menit jalan kaki sudah sampai. Sementara tetangga kanan kiri saya bersekolah lebih jauh, harus ditempuh dengan mobil. Entah bagaimana dulu ekspresi wajah Ibu mendengar jawaban saya, mungkin hanya menghela napas, kehilangan kata-kata.

Ibu bukan tipikal orang mudah marah atau mengomel dengan nada tinggi. Hmm, saya jadi teringat cerita Ibu. Pernah sekali waktu, Ibu memarahi saya dengan bahasa Jawa. Tapi anak yang dimarahi sepertinya tenang-tenang saja.

“Ibu tuh barusan ngomong apa sih?” Pertanyaan ini justru yang saya lontarkan setelah Ibu selesai bicara. Kemudian, Ibu lagi-lagi menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, bersabar, rupanya omelannya tidak dipahami oleh saya.

Atau pada lain waktu, saat liburan, seharian saya justru asyik bermain dengan tetangga seharian penuh, lupa pulang, lupa shalat, lupa kewajiban-kewajiban saya lainnya. Ketika pulang, saya mendapati Ibu yang menangis, bentuk emosinya yang memuncak.

Ah, lihatlah, hitunglah berapa kali kamu sudah membuat Ibumu menangis, Yu?

Sekali lagi, hati saya seperti tersengat listrik. Bahkan, di usia yang sudah melewati kepala tiga, saya masih saja membuat Ibu kecewa dan tersedu. Dalam doa-doa panjangnya, Ibu selalu menyelipkan pinta hal terbaik bagi putri bungsunya, saya.

Maaf Bu, saya belum menjadi anak yang bisa membanggakanmu, membahagiakanmu. Semoga Allah memberikanmu usia yang panjang dan berkah, serta kesehatan dan kelapangan. Semoga Allah masih memberikan saya banyak kesempatan dan kemampuan untuk membahagiakanmu.

Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa. Aamiin

IMG_20140528_202555

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

 

5 pemikiran pada “[Writing Project] Berkisah Ibu

  1. Aku baru baca yang ini ._. dan yap, ngejleb :’ jadi inget gimana nakalnya aku ._. aku sih nggak pernah liat ibu nangis secara langsung, tapi kalau nangis pas shalat karena mendoakan aku, mungkin beliau lakuin :’ sebisa mungkin aku jaga perasaan ibu ah :’)

Tinggalkan Balasan ke iuef Batalkan balasan