Nonton Dilan 1990

dilan-1990-filmposter-411x600Saya memang suka dengan novel Dilan 1990 dan sekuel-sekuelnya. Tapi sebenarnya bukan karena alasan itu, kemudian saya memilih menonton film Dilan. Juga bukan karena alas an karena film ini sekarang sedang menjadi trending film Indonesia saat ini. Hampir setiap bioskop memasang film Dilan dalam 2 hingga 4 layar.

Memang, ketika isu film Dilan ini akan diangkat ke layar lebar, saya termasuk yang cukup antusias. Lalu setelah muncul nama pemerannya, seketika keinginan saya untuk menonton sirna. Menuduh film ini hanya akan jadi film-film romantis remaja Indonesia pada umumnya. Lalu ketika kemarin nonton teasernya di bioskop dan langsung menyadari bahwa lokasi syutingnya adalah di tempat saya belajar saat masih berseragam putih abu. Seketika itu pula tercetus, sepertinya film ini harus kutonton.

Ya, alasannya sesederhana itu, hanya karena lokasi syuting. Karena ini tentang sebuah nostalgia. Dan kemudian saya membuat janji nonton bareng dengan seorang teman yang juga merupakan anak generasi 90’an. Alasannya pun sama, untuk sebuah nostalgia.

Walhasil sepanjang film, kami lebih sering mengomentari properti-properti yang digunakan, ketimbang ceritanya. Mulai dari baju sekolah yang longgar, model rambut, buku fiksi yang dibaca, stiker-stiker yang ditempel di kamar Dilan, telepon umum, sampai kijang kotak polisi. Dan lalu ngakak berdua ketika tiba-tiba ada logo LOOP muncul di tempat fotocopy. Well, ya namanya juga sponsor ya. Ya sudah anggap saja itu grafity yang tidak berhubungan dengan jaringan telekomunikasi selular.

Menurut saya, sutradara berusaha sebisa mungkin membuat setiap adegan masuk akal untuk sebuah setting tahun 1990. Setiap scene dibuat terfokus pada tokoh cerita. Lebih unik tidak ada satupun kalimat yang menyatakan di mana persisnya lokasinya. kecuali ITB dan rumah Lia. Buat saya ini langkah pintar, daripada kemudian keliatan bolongnya.

Lalu bagaimana kalau dibandingkan dengan novelnya?

Dilan1990-bookcoverSebelum menonton, saya sudah menanggalkan segala persepsi saya tentang Dilan. Terus terang tokoh Dilan sedikit banyak mengingatkan saya pada seseorang, dan itu yang menjadi salah satu alasan kenapa saya suka novel Dilan. Alasan lain yang saya suka dari novel Dilan, adalah gaya bertuturnya seperti mendengarkan orang bercerita. Cerita satu arah dengan segala persespsinya.

Tentu berbeda dengan film, di mana tambahan-tambahan persepsi itu jadi hilang. Tapi pada beberapa titik digantikan dengan suara narator, agar cerita tidak patah. Buat saya eksekusinya cukup berhasil. Tidak ada perubahan alur atau penyesuaian supaya ceritanya terkesan lebih dramatis. Dan itu menenangkan. Kupikir sebelumnya film ini akan menjadi film yang akan langsung merangkum keseluruhan cerita Dilan. Tapi ternyata tetap dibuat persis seperti novel pertamanya, yang berarti terbatas pada sudut pandang Milea. Padahal yang membuat saya jatuh hati pada tokoh Dilan justru ketika segala cerita dilihat dari sudut pandangnya.

Tapi sedikit catatan untuk film Dilan.

Tentu ada, takada gading yang tak retak. Lembaga sensor mengkategorikan film Dilan ini untuk 13 tahun ke atas, tapi pada dasarnya, menurut saya, film ini tetap butuh bimbingan orang tua. Mengingat karakter Dilan yang bisa dibilang berandalan dan berhasil mendapatkan perempuan yang menjadi pujaan banyak orang. Ya, mudah-mudahan sih, Dilan bukan menjadi role model dan alasan pembenaran untuk remaja-remaja labil kemudian berbuat tawuran dan anarkis. Bahwa kekerasan adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Bahwa emosi boleh dinomorsatukan dari segala sesuatu. Bahwa menjadi berandalan akan memikat hati perempuan. Semoga tidak. Meski entah kenapa berbuat negatif itu lebih mudah ditiru.

Puas nonton Film Dilan 1990?

Karena alasan saya sesederhana untuk bernostalgia, maka alat ukurnya juga dari seberapa besar film membuat saya bernostalgia. Kalau disuruh membuat penilaian, saya akan berikan 3.5 dari 5. Ya, harap maklum, settingan memang beberapa tahun sebelum saya masuk SMA, jadi mungkin kurang ngena. Tapi semua scene yang dibuat di sekolah, saya suka. Benar yang ramai ditulis di grup alumni SMA. It’s like déjà vu!

10 pemikiran pada “Nonton Dilan 1990

  1. Aku takut mau nonton filmnya. Takut imajinasi hancur berkeping-keping. Karena bukunya sudah bagus banget.

    • Iya, Mbak Endang, tadinya aku juga nggak mau. Harus ikhlas sih nontonnya. Hihihi.

      Tapi karena karakternya imajinasi jauh lebih kuat, buatku enggak ngaruh sih setelah nonton itu, pas baca buku lagi tetep balik lagi. Kalau aku yang masih belum berani nonton film Hujan Bulan Juni. Hihihi.

      • Film Hujan Bulan Juni, aku juga tidak nonton hahaha Gak suka sama Velove hahaha (udah dari main sinetron di tv)

  2. Wah, sepertinya Dilan mengingatkan mbak pada seseorang yah. Menurut survei, katanya setiap wanita punya cerita tentang Dilan nya masing2.. Hehe

Tinggalkan Balasan ke purwatiwidiastuti Batalkan balasan